Perjalanan Mencari Sepatu Lari

Judulnya kesannya hiperbolik sekali ya. Cari sepatu lari dibuat cerita. Seolah-olah perjalanan ini mistis, panjang dan melegenda. Hahaha... Saya masih inget waktu SD kalau cari sepatu ya ke Praban (sentra penjual sepatu di Surabaya), cari ukurannya, panjang cukup, enggak sakit dipakainya, harga murah, dibeli, terus pulang. Sebuah perjalanan non signifikan dan biasa saja yang memakan waktu kurang dari 1 jam.

Semuanya berubah ketika Anda menjadi hobi berlari. Atau mungkin kata lebih dramatisnya adalah atlit lari. Wait, sebelumnya, kata-kata atlet seringkali dimaknai berbeda di Indonesia. Menurut Merriam-Webster Dictonary (kamu paling keren sejak 1823-katanya) adalah "a person who is trained or skilled in exercises, sports, or games requiring physical strength, agility, or stamina", bahasa Indonesianya adalah "seseorang yang terlatih atau terampil dalam melakukan latihan, olahraga, atau permainan yang membutuhkan kekuatan fisik, kelincahan, atau stamina", bukan seseorang yang melakukan kompetisi baik rekreasional maupun profesional di olahraga tersebut ya, itu adalah definisi dari professional atau elite athletes. So, kembali ke topik, sejak saya jadi atlet triathlon, semuanya berbeda. Pertama kali saya lari 25 Juli 2016, nggak tahu apa-apa tentang lari, tapi saya punya sepatu olahraga, yaudah. Dipasang, dipakai lari di KONI. 5 kilometer, butuh 40 menit dan 23 detik, dengan telapak kaki rasanya mau meledak, paru-paru panas, kaki sakit semua, desperate habis habisan hari itu. Saya pulang googling rekor dunia di kelas 5 kilometer ternyata 12 menit dan 37 detik. Gile bener.. Mulai deh saya googling kenapa mereka bisa dan saya nggak. Kenapa kaki saya sakit pada saat lari, mereka nggak. Ternyata pemilihan sepatu lari ada triknya.

Karena keterbatasan saya di ukuran kaki (dan tubuh), saya ini terlalu besar untuk ukuran orang Indonesia, tinggi saya 180 cm dengan ukuran kaki 48-49, atau lebih detailnya panjang 29,7 cm dan lebar 12,7 cm. Ini saya ukur beneran pakai kaki saya basahin dan berdiri di koran. Basah di koran saya ukur, saya foto dan saya dokumentasikan. Ini saya lakukan Desember 2016 karena saya selalu kesulitan beli sepatu di Indonesia, akhirnya harus beli online, tapi takut salah beli. Akhirnya produsen sepatu saya email ukuran kaki saya. Serius, nggak bohong hahaha... Alhamdulillah sejak saat itu selalu dapat sepatu yang enak banget walaupun nggak pernah dicoba.


Ternyata metode ini juga membuat kita bisa mengira-ngira tipe kaki sepatu untuk lari (atau mungkin juga buat jalan) yang mana sih. Setelah saya baca-baca, ternyata ada tiga besar tipe telapak kaki manusia. Normal (lurus), Overpronation (kaki kaya X) dan Supination atau orang ada yang bilang underpronation (kaki kaya O).





Bisa dilihat dari bayangan yang digambarkan dari kaki kalau dibasahin terus ditaruh di koran. Kalau gambarannya penuh, berarti Flat Foot atau overpronasi, kalau kaki normal gambarannya kaya diatas itu dan yang supinasi tengahnya bisa ramping gitu.

Selain mencari sepatu yang pas dalam hal ukuran, ternyata harus diperhatikan kecocokan dari tipe kaki kita. Tiap merek mempunyai tipe tertentu untuk tiga tipe diatas.

Beruntung saya sekarang lagi tinggal dan belajar di Amsterdam, saya bisa mendapatkan shoes fitting secara obyektif dengan alat yang ada di ASICS Store Amsterdam. BTW, postingan ini tidak disponsori oleh ASICS atau siapapun, murni karena memang saya cocok pakai merk ASICS sejak pertama kali dikenalkan oleh rekan saya Shofwan, founder salah satu toko sepatu online yang terkenal dengan jasa fitting dan harga murahnya. Thanks bro hehehe..

ASICS Amsterdam
Di toko ini ada lengkap alat shoes fitting. Alatnya berupa treadmill, tapi dilengkapi khusus dengan sensor, sehingga bisa menangkap sudut kaki kita saat jatuh waktu lari itu berapa derajat. Begitu juga telapak kaki di bawahnya.

Sistem komputer dan treadmill untuk shoes fitting

Sepatu ASICS lama saya yang sudah hampir expired (waktunya ganti, makanya kesini)
Saya disuruh pakai sepatu tertentu dengan ukuran yang pas dikaki saya. Sepatu ini sifatnya netral, tanpa cushioning dan tanpa koreksi. Sehingga seolah-olah kita lari barefoot. Sepatu ini kemudian dipasang sensor, kemudian saya diminta lari di pace 5km saya selama 2 menit. Hasilnya langsung keluar deh.

Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa kaki saya overpronasi, terlihat di "pronation excursion 18,2º", dikatakan perlu dikoreksi bila diatas 9º. Collision dan smoothness menunjukkan berapa besarnya hentakan kaki saya di tanah ketika berlari. Nilai ini termasuk normal. Berarti Alhamdulillah struktur lari saya atau "running form" saya sudah benar.

Dari data diatas menunjukkan bahwa kaki saya adalah kandidat yang membutuhkan sepatu koreksi. Untuk ASICS, pada kaki overpronasi di toko tersebut pilihannya GT 1000, GT 2000 dan Gel-Kayano 24.

Sebetulnya sudah lama saya memimpikan punya Gel-Kayano 24, tapi gara-gara nggak ada yang cukup di Indonesia dan ongkir dari luar mahal banget, akhirnya nggak kebeli. Sebetulnya juga sudah tau kalau overpronated, tapi nggak tau berapa derajat. Jadi ya karena running analysisnya gratis juga, sekalian deh. heheheh..

Oh iya, kenapa penting pakai sepatu yang personally perfectly fit? Bayangkan seberapa "abusive" olahraga yang anda lakukan ke kaki. Lari 30 menit dengan cadence (jumlah langkah per menit) 160 berarti sudah memaparkan kaki anda 4800 hentakan lho. Normal lah kalau sepatunya nggak sip kakinya sakit semua. Orang yang udah bener pas kalau kurang latihan juga bakal sakit semua kok hahahaha..

Gel-Kayano 24 idaman ada di tangan

Langsung diganti pakai iBungee Speedlaces biar cepat pakai dan lepas. Ini diciptakan buat triathlon sebetulnya biar gampang dan cept pindah dari sepatu sepeda ke sepatu lari.




Jadi, next time kalau kaki sakit semua habis olahraga, jangan salahkan diri anda yang tidak berbakat. There is no talent! Yang ada adalah latihan, mencoba, research, improve!

Selamat berjuang :)


Amsterdam, 22 Maret 2018
13.04 (Nganggur gegara operasi batal)


Hari Nugroho

Komentar

Postingan Populer